Jumat, 24 April 2015

TOKOH ABDUL WAHAB ROKAN

Abdul Wahab Rokan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Syeikh Abdul Wahab Rokan
Abdul Wahab Rokan atau dikenal dengan sebutan Syeikh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi (lahir 28 September 1811 di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Nagari Tinggi, Kabupaten Kampar, Riau - meninggal 27 Desember 1926 pada umur 115 tahun) adalah seorang ulama ahli fikih, seorang sufi, sekaligus mursyid (pembimbing rohani) Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Riau dan Sumatera Timur pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.[1][2] Ia juga merupakan pendiri Pondok Pesantren Babussalam di Pekanbaru, Riau.[3][4]

Daftar isi

Biografi

Asal-usul

Syeikh Abdul Wahab Rokan lahir dengan nama Abu Qosim, setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Haji Abdul Wahab.[1][5] Sedangkan tambahan nama Rokan menunjukkan bahwa ia berasal dari wilayah Sungai Rokan.[1] Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpendidikan, taat beragama dan sangat dihormati.[6] Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Tuanku Abdullah Tambusai, seorang ulama terkemuka di kampungnya, sedangkan buyutnya bernama Tuanku Tambusai, seorang ulama dan pejuang yang masih keturunan keluarga Kerajaan Islam Siak Seri Inderapura.[1][6] Ibunya bernama Arbaiyah binti Dagi yang masih keturunan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara.[1][6]

Pendidikan

Syeikh Abdul Wahab pertama kali mendapatkan pendidikan al-Quran langsung dari ayahnya, namun setelah ayahnya meninggal ia melanjutkan belajarnya kepada Tuanku Muhammad Shaleh Tambusai dan Tuanku Haji Abdul Halim Tambusai.[1] Setelah belajar kepada kedua gurunya tersebut, Syeikh Abdul Wahab telah mampu berkembang pesat dalam menguasai ilmu bahasa Arab dan fikih, sehingga ia dijuluki "Faqih (ahli ilmu fikih) Muhammad" oleh gurunya.[1]
Syeikh Abdul Wahab juga belajar kepada Syeikh Muhammad Yusuf di Semenanjung Melayu selama dua tahun.[1] Pada tahun 1863, ia melanjutkan menunaikan ibadah haji ke Mekah sekaligus melanjutkan memperdalam ilmu-ilmu keislaman di sana.[1] Selama enam tahun (1863-1869) ia bermukim dan belajar kepada ulama-ulama terkenal di Mekah.[1]
Di antara guru-guru Syeikh Abdul Wahab ketika belajar di Mekah ialah:[1]
  • Syeikh Saidi Syarif Dahlan (mufti mazhab Syafi'i)
  • Syeikh Hasbullah (ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram)
  • Syeikh Muhammad Yunus Abdurrahman Batu Bara (ulama Indonesia asal tanah Batak)
  • Syeikh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abu Qubais, Mekah
Syeikh Sulaiman Zuhdi inilah yang kemudian memberi ijazah (pegesahan) dan membaiat Syeikh Abdul Wahab untuk mengamalkan dan menyiarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di tanah kelahirannya.[1] Syeikh Sulaiman Zuhdi pula yang memberikan gelar Al-Khalidi An-Naqsyabandi di belakang nama Abdul Wahab Rokan.[1]

Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Sepulang dari Mekah, Syeikh Abdul Wahab mendirikan perkampungan di sekitar Sungai Rokan yang ia beri nama Tanjung Masjid (Kampung Masjid).[1] Ia menyebarkan tarekatnya tidak hanya sebatas di kampungnya saja, namun juga meliputi wilayah Riau, Tapanuli Selatan, Sumatera Timur, bahkan sampai ke Semenanjung Melayu.[1] Pada tahun 1874, Syeikh Abdul Wahab pindah ke Dumai (Pantai Timur Riau) dan mengembangkan perkampungan baru di sana.[1] Namun ia tidak lama menetap di Dumai, ia kembali ke tanah kelahirannya di Rantau Binuang Sakti untuk mengembangkan tarekatnya di sana.[1]
Syeikh Abdul Wahab sempat mendirikan organisasi perjuangan Islam dengan dibantu oleh para ulama lain seperti Haji Abdullah Muthalib Mufti dan Sultan Zainal Abidin.[1] Namun, karena dirasa organisasi tersebut membahayakan, maka Pemerintah Hindia Belanda menangkapya dan mengasingkannya ke Madiun, Jawa Timur, serta membubarkan organisasi tersebut.[1] Pemerintah Hindia Belanda terus mencurigai setiap tindakan Syeikh Abdul Wahab, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Kampung Kualuh, Labuhan Batu, Sumatera Utara.[1] Di sana ia membangun lagi sebuah perkampungan dan di sana pula ia mulai memiliki santri.[1]
Pada tahun 1879, Syeikh Abdul Wahab mendapatkan wakaf sebidang tanah yang terletak di wilayah Langkat dari Sultan Langkat, yaitu Sultan Musa al-Muazzam Syah.[1] Pada tahun 1883, Syeikh Abdul Wahab beserta para santrinya kemudian membangun sebuah perkampungan baru lengkap dengan masjid dan pesantren.[1] Perkampungan tersebut semakin berkembang dan diberi nama Kampung Babussalam (Pintu Keselamatan) dan masyarakat umum sering menyebutnya Bassilam. Demikian pula nama pesantren dan masjidnya serta kegiatan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Wahab kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Bassilam.[1]

Referensi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar